

Jadilah kehendak-Mu, diatas dibumi seperti di dalam surga.
dan ampunilah kesalahan kami,
Et nos dimittimus debitoribus nostris
Ne nos inducas in tentationem
Sed libera nos a malo
(21 September 2001)
3. The celebration of the Liturgy is an act of the virtue of religion which, in keeping with its nature, must be characterised by a profound sense of the sacred. Both the individual and the community must be aware that, in a special way, through the Liturgy they come into the presence of Him who is thrice holy and transcendent. Consequently, the disposition required of them is one that can only flow from that reverence and awe deriving from an awareness of being in the presence of the majesty of Almighty God. Did not God Himself wish to express this when he commanded Moses to remove his sandals in the presence of the burning bush? Was it not because of this same realization that Moses and Elijah did not dare gaze on God facie in faciem.
The People of God require a comportment in their priests and deacons that is completely imbued with reverence and dignity since it allows them to penetrate invisible realities without words or explanations. The Roman Missal, promulgated by Saint Pope Pius V, and the various Eastern Liturgies, contain many very beautiful prayers with which the priest expresses a profound sense of reverence and humility before the Sacred Mysteries. These prayers reveal the very substance of every Liturgy.
A liturgical celebration, at which the priest presides, is an assembly of prayer, gathered in faith to hear the Word of God. Its primary object is to offer to God the living, pure and holy Sacrifice made once and for all time by Jesus Christ on Calvary, and which is rendered present at every Holy Mass celebrated by the Church so as to worship God in spirit and in truth.
This is why in his encyclical of 1st September 1883 he “decrees and orders that throughout the whole Catholic world the following feast of Our Lady of the Rosary be celebrated with a particular piety and with all the solemnities of the cult: from 1st October to 2nd November at least five decades of the Rosary are to be recited piously in all parish churches followed by the Litanies of Loretto.“ In a declaration of 24th December 1883 the Holy Father expressed his joy that the Catholic people had everywhere been so obedient to his orders. He asked for perseverence in this practice. On 30th August 1884 he renewed for the month of October the prescriptions of the previous year. “Since the attack by the enemies of Christianity is unrelenting, the constancy and energy of the defenders should be no less vigorous…”
Thereafter Mary's gaze, ever filled with adoration and wonder, would never leave him. At times it would be a questioning look, as in the episode of the finding in the Temple: “Son, why have you treated us so?” (Lk 2:48); it would always be a penetrating gaze, one capable of deeply understanding Jesus, even to the point of perceiving his hidden feelings and anticipating his decisions, as at Cana (cf. Jn 2:5). At other times it would be a look of sorrow, especially beneath the Cross, where her vision would still be that of a mother giving birth, for Mary not only shared the passion and death of her Son, she also received the new son given to her in the beloved disciple (cf. Jn 19:26-27). On the morning of Easter hers would be a gaze radiant with the joy of the Resurrection, and finally, on the day of Pentecost, a gaze afire with the outpouring of the Spirit (cf. Acts 1:14).
1. Misa pembukaan :
Hari/tanggal : Sabtu, 1 Oktober 2011
Waktu : 10.00 WIB
Tempat : Kapel Hati Kudus Yesus, RS St. Carolus Borromeus
Catatan :
Misa diawali dengan doa rosario
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Maria tetap perawan, sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan Yesus. Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam Kitab Suci, namun hal ini dapat diketahui setidaknya melalui beberapa prinsip ini:
Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu.
Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus.
Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini,
sekarang dan waktu kami mati.
Amin.
Corpus Dómini nostri Jesu Christi custódiat ánimam meam in vitam ætérnam
(Semoga Tubuh Tuhan kita Yesus Kristus menjagai jiwaku untuk kehidupan kekal. Amin.)
Ucapan ini diucapkan oleh imam pada saat berdoa sesaat sebelum ia menerima Tubuh Kristus untuk masuk ke dalam tubuhnya sebagai suatu santapan rohani. Ucapan yang sama juga diucapkan imam pada saat akan memberikan Tubuh Kristus kepada umat pada saat komuni dalam ritus Missa Forma Ekstraordinaria (Tridentine Latin Mass). Ucapan yang cukup singkat, namun jika ditilik secara lebih mendalam memiliki suatu makna yang berlimpah dalam kesederhanaan kata-kata yang terbingkai dalam kalimat tersebut.
Bagian yang pertama yang patut dan memang selayaknya untuk menjadi fokus perhatian ialah pengakuan iman kita pada Kristus, yakni memang yang kita sambut adalah Tubuh Kristus sendiri. Kristus yang adalah Allah yang Mahakuasa, Awal dan Akhir dari segala sesuatu, rela meninggalkan kodrat ilahi-Nya untuk menjadi santapan rohani bagi manusia dan dengan demikian Ia mencapai suatu persatuan yang tertinggi dengan manusia, umat-Nya. Karena dengan persatuan sebagai santapan rohani manusia, akan terjadi peleburan dan penyatuan jiwa antara Pencipta dan ciptaan, antara yang mengasihi dan yang dikasihi dan dengan demikian turut tercapai pula maksud dari semua tindakan penebusan yang sejak semula diharapkan untuk turun atas manusia yakni terjalinnya persatuan yang luhur antara Allah dan manusia.
Kenapa dibutuhkan persatuan antara Allah dan manusia?
Sudah terjadi sejak awal segala sesuatu, bahwa manusia berasal dari Allah dan pada hakikatnya berada dalam persatuan Ilahi dengan Allah. Suatu persatuan, yang pada akhirnya dirusak oleh hasrat manusia yakni hasrat keingintahuan dan ketidakpuasan atas segala sesuatu, akhirnya rusak pada saat Hawa termakan oleh godaan ular di Taman Eden dan memakan buah dari pohon terlarang dan dengan demikian juga memberikannya kepada Adam, pasangannya. Relasi yang tercipta antara Adam-Hawa dengan Allah sebelum terjadinya peristiwa Taman Firdaus ini, menunjukkan kepada kita betapa indahnya persatuan yang tercipta, bagaimana Allah sendiri memberikan kepada manusia kuasa atas seluruh ciptaan, pendamping, dan rumah serta segala hal yang berlimpah. Allah senantiasa menyertai mereka sepanjang waktu dan di tengah segala kesibukan Allah mengurus alam semesta yang maha luas, Allah masih sempat untuk bercengkerama dengan mereka dan bahkan Allah, dalam kasih-Nya yang begitu besar kepada Adam yang dilihat-Nya sendiri, tanpa pasangan, kemudian memberikan kepadanya seorang pasangan, yang disebutnya sebagai 'daging dari dagingku, dan darah dari darahku". Namun persatuan yang indah ini dirusak oleh hasrat ketidakpuasan manusia akan segala sesuatu yang ada dan ditambah lagi oleh godaan sang ular, sehingga persatuan ini pun rusaklah.
Namun sekali lagi, karena kasih Allah yang tanpa batas dan kerinduan Allah untuk bersatu kembali dengan manusia, ciptaan-Nya yang paling agung dan Ia kasihi, maka sudah sejak zaman Perjanjian Lama, Ia menjanjikan kepada manusia seorang Penebus yang akan memperbaiki hubungan yang telah rusak ini dan membawa kembali manusia kepada persatuan dengan Allah. Suatu persatuan ilahi yang penuh kasih, yang telah rusak oleh dosa yang sedemikian kelam dan jahatnya, harus diperbaiki kembali. Bukan perkara yang mudah untuk memperbaiki hubungan ini karena melibatkan dua pribadi adikodrati yang berada jauh di luar jangkauan manusia yakni Allah Yang Mahakuasa dengan perusak hubungan itu sendiri, yakni Sang Jahat. Maka untuk mampu mengatasi kerusakan hubungan ini, diperlukan sosok yang memiliki kualitas kasih adikodrati yang jauh melebihi siapa saja. Sosok yang mampu mengatasi segala kejahatan, kelemahan, dan keburukan yang ada dengan kasih yang tulus, murni, tanpa batas. Ya, memang hanya Allah yang memiliki kepribadian seperti ini, karena hanya Ia lah yang mampu untuk mengasihi sedemikian rupa. Oleh karena itu, Ia mengutus diri-Nya sendiri dalam rupa seorang Putera, Anak Manusia, untuk turun ke dunia.
Kehadiran Putera Allah ke dalam dunia, dalam masa sekitar 30 tahun hidup-Nya, memberikan gambaran baru bagi dunia. Kehadiran-Nya memberikan gambaran bagi dunia bagaimana jalan yang seharusnya ditempuh untuk menjalin kembali hubungan yang baik dengan Allah. Allah tidak mempersoalkan dosa yang telah dibuat oleh manusia jika manusia bersedia kembali kepada-Nya dengan sungguh-sungguh dan tulus, murni. Dengan alasan yang demikian pulalah, yang turut menjadikan Ia bersedia untuk turun dari hadirat di surga tinggi hanya demi merangkul manusia, makhluk yang paling dikasihi-Nya.
Berbagai dimensi kehidupan yang disajikan oleh Kristus semasa hidup-Nya akhirnya harus berakhir secara jasmani, di kayu salib di tempat yang diyakini bernama Bukit Golgota, tempat yang pada masa tersebut merupakan suatu tempat penyaliban bagi orang-orang yang dianggap memiliki kesalahan amat besar sehingga layak untuk mendapatkan suatu penyaliban.
Konteks penyaliban yang terjadi pada masa akhir hidup jasmani Yesus perlu dilihat bukan sebagai suatu hal yang memilukan atau memalukan bagi kita, umat beriman. Memang, pada awalnya, jika seseorang menyandang status sebagai orang yang tersalib, maka kepadanya dilekatkan status sebagai pihak yang amat jahat dan tidak layak untuk menjadi bagian dari suatu masyarakat. Tapi apa yang dialami oleh Yesus, adalah suatu hal yang jauh berbeda dari konteks pada masa tersebut. Penyaliban Yesus lebih dikarenakan oleh hasrat manusia sendiri. Manusia yang tidak puas akan kehadiran sesosok pria yang mampu menghadirkan nuansa baru kehidupan berelasi dengan Allah dalam kasih yang tulus murni, di tengah keganasan segala intrik dan tipu daya dunia untuk mencampuradukkan kehidupan kasih ilahi Allah dan manusia dengan segala kebusukan dunia. Ketidakpuasan ini mendorong segala pihak yang tidak menyukai kehadiran Kristus untuk berakhir pada suatu kesimpulan, yakni pemusnahan Kristus dengan penyaliban-Nya. Namun, sungguhpun penyaliban ini benar-benar terjadi, apa yang terjadi selanjutnya bukan menjadi apa yang diharapkan oleh mereka yang menyalibkan-Nya.
Penyaliban Kristus membawa suatu dimensi baru lagi bagi manusia. Kristus, Anak Domba Paskah, telah dikurbankan di kayu salib. Dari kayu salib, darah-Nya yang kudus tercucur bagi dunia dan di atas kayu yang sama, tubuh-Nya terentang antara langit dan bumi, selayaknya kurban yang ditadahkan oleh seorang imam kepada Allah sebagai kurban pelunas dosa. Inilah Ekaristi nyata yang terjadi di tengah publik, setelah penetapan Perjamuan Ekaristi yang sebelumnya ditetapkan oleh Kristus sendiri pada saat berkumpul dengan para murid.
Sakramen Ekaristi Mahakudus yang sama sejak penyaliban
Berkat penyaliban, kepada dunia telah diberitahukan satu hal yang sama yakni inilah Ekaristi, saat ketika Kristus mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada dunia demi kurban pelunasan dosa. Sakramen inilah yang kita imani bersama sejak dari masa penyaliban sampai sekarang dan selama-lamanya dan atas perintah kasih dari Sang Terkasih jugalah, kita mengulanginya dalam setiap Misa Kudus. Misa Kudus yang senantiasa kita persembahkan kepada Allah, setiap suatu periode tertentu, bukan sekadar suatu peringatan atau ritual biasa yang mampu dilakukan oleh siapa saja. Kurban Misa ini berasal dari Allah, sehingga yang mampu melakukannya sebenarnya hanya Allah sendiri, namun sekali lagi karena karunia Allah yang begitu besar kepada manusia, sehingga Ia berkenan untuk memberikan rahmat imamat suci surgawi kepada para imam-Nya sehingga mereka dapat dengan lebih luas mewartakan kabar keselamatan kepada seluruh ciptaan di seluruh semesta. Para imam mendapatkan kesempatan emas yang sangat sulit didapatkan yakni kesempatan untuk mendapatkan tangan Allah sendiri melekat dengan tangan mereka pada saat mereka memberkati siapa saja, terutama pada saat mempersembahkan kurban Misa. Merekalah pihak yang paling dekat dengan Allah baik secara fisik maupun jiwa karena kepada mereka telah diberikan rahmat yang diberikan oleh Kristus sendiri, yakni rahmat persatuan pribadi dengan Kristus, sang Imam Surgawi, untuk turut mengambil bagian dalam misteri pengurbanan agung Sang Raja Surgawi.
Misa Kudus, kehadiran hadirat Ilahi
Dalam Misa Kudus, kita mengenangkan kembali peristiwa penebusan yang telah dilakukan oleh Kristus di atas kayu salib. Dalam Misa Kudus tersebut pula, Allah sungguh-sungguh hadir di tengah-tengah kita. Kehadiran Kristus bukan hanya pada saat konsekrasi Roti dan Anggur, tetapi bahkan sejak kita mempersiapkan diri berangkat dari tempat awal kita menuju Gereja/kapel. Kristus yang sama, membantu kita untuk mempersiapkan diri untuk menyambut diri-Nya yang akan dipersembahkan dalam Misa Ekaristi Kudus. Oleh karena itu, kita perlu membina kesigapan hati untuk menyadari kehadiran Kristus yang agung ini.Kehadiran Kristus itu pulalah yang mengharuskan kita untuk memberikan penghormatan yang selayaknya kepada Allah Tuhan kita. Suatu persiapan batin yang layak dan cukup diperlukan agar diri kita, baik jiwa maupun raga, sanggup untuk menerima kehadiran Kristus secara utuh dalam diri kita. Persiapan batin dalam Misa Kudus, dilakukan sebelum Misa Kudus dimulai, melalui untaian doa dan pengosongan diri dari segala hasrat dunia yang mampu mengganggu persatuan kita dengan Allah. Persiapan batin yang cukup ini bisa kita raih, sekali lagi dengan bantuan dari Allah yang Maha Pengasih. Bantuan dan pendampingan yang kita dapatkan, berupa pendampingan dari Bunda Putera-Nya sendiri. Bunda Allah senantiasa hadir dalam setiap Misa Kudus yang dipersembahkan bagi Putera-Nya. Bunda kita akan membantu kita untuk mempersiapkan hati supaya mampu setidaknya untuk menampung satu tetesan rahmat kerahiman Ilahi yang akan tercurah begitu derasnya pada saat Misa Kudus berlangsung, agar jiwa kita mampu memahami Kristus yang sungguh hadir dalam Misa Ekaristi Agung dan memahami makna pengurbanan dan penebusan yang sesungguhnya dari misteri penyaliban Agung.
Bersama-sama dengan Maria, pendarasan doa Rosario Suci St. Perawan Maria, akan sangat membantu kita dalam memahami makna Misa Kudus dan merenungkan peristiwa mulia ini. Karena seluruh isi Kitab Suci berpusat pada Kristus, dirangkum dalam Rosario Suci, dan berpuncak pada perayaan misteri agung penebusan Ilahi pada Misa Kudus. Setiap bulir yang mengalir membantu kita dalam menyucikan hati dari segala hal yang mengusik kita dari persatuan kita dengan Allah. Dengan Rosario Suci St. Perawan Maria, setiap insan diajak untuk memahami Kristus melalui Bunda-Nya yang maha lembut dan pengasih.
Sungguh suatu rahmat Ilahi yang begitu besar dicurahkan kembali kepada seluruh ciptaan dengan dianugerahkannya Bunda Ilahi, kepada seluruh ciptaan. Manusia yang penuh akan kelemahan dan kerapuhan, diangkat Allah untuk menjadi Bunda Putera-Nya.
Ya, memang, manusia rapuh, tapi di tengah kerapuhan itulah Allah mencintai kita karena memang sesungguhnya cinta yang sejati timbul bukan dari kelebihan tetapi dari kekurangan.
Cinta yang sejati, tulus, murni diberikan oleh Allah kepada kita,
cinta agung yang bahkan membuat Allah sendiri harus turun ke tengah-tengah kita dalam rupa seorang Putera,
pantaskah kita untuk membalas cinta ini dengan tindakan-tindakan kita yang tiada pantas?
tindakan-tindakan yang menghilangkan situasi batin yang tidak layak dalam mempersiapakan diri menyambut Misa?tindakan-tindakan daging yang menghilangkan hadirat Ilahi dalam setiap Misa Agung?
O, betapa mulia nama-Mu ya Tuhan di seluruh penjuru bumi,
betapa agung dan luhur kasih-Mu kepada kami,
tetapi betapa rendah balasan yang kami berikan kepada-Mu...
Ya Tuhan, yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih...
bukalah lebar-lebar pintu kerahiman Hati Kudus-Mu kepada kami,
sucikanlah kami dengan kasih-Mu sehingga kami dapat memahami dengan lebih layak kehadiran-Mu dalam setiap Misa Kudus-Mu...
Doakanlah kami, ya Santa Bunda Allah
supaya kami dapat menikmat janji Kristus.
Kemuliaan kepada Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus
seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad.
Amin.
Kalender Liturgi
Pengunjung
Artikan situs ini (Translator)
Buku tamu
Lokasi Tamu
Mari Berlangganan
Pages
Entri Populer
-
Catholic Church History Pagan Imperialism (49 B.C.-313 AD) IV. Ordeal of the Church (249-313) 22. Reaction of Flight: Monasticism IV Ord...
-
Liturgi 1962 Persaudaraan dan Liturgi Tujuan dari Persaudaraan Santo Petrus adalah pengudusan imam...
-
Dogma adalah ajaran resmi Gereja yang dinyatakan secara meriah dengan kekuasaan Paus. Dogma tentang Maria timbul sebagai rumusan kesaksian G...
-
Cajetano adalah seorang putera altar dan martir pengantar Komuni Suci. Terjadi pada tahun 1936, ketika Kaum Merah Spanyol aktif mengadakan m...
-
1. Pembukaan P : Ya Allah, bersegeralah menolong aku. U : Tuhan, perhatikanlah hamba-Mu. Kemuliaan …. Al...
-
( http://www.catholicnewsagency.com/new.php?n=23503 ) WASHINGTON D.C., October 7 (CNA/EWTN News) - A Lutheran teacher's lawsuit led to...
-
LANCIANO, sekitar 700 M Lanciano adalah sebuah kota kecil di pesisir Laut Adriatic di Italia. Lanciano berarti “tombak”. Menurut trad...
-
In order to benefit from the effects of the Mass, we must seek to correspond to them. We must therefore distinguish the four ...
-
“Akulah hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut perkataanmu,” ucap Maria kepada malaikat Gabriel yang diutus oleh Tuhan kepadanya untuk m...
-
ENCYCLICAL LETTER CARITAS IN VERITATE OF THE SUPREME PONTIFF BENEDICT XVI TO THE BISHOPS PRIESTS AND DEACONS MEN AND WOMEN RELIG...