Gereja Katolik mengimani bahwa penyelamatan adalah misteri paling agung
yang pernah terjadi dalam kehidupan manusia karena penyelamatan melibatkan
Allah dan manusia. Hal ini sangat misterius karena Allah dalam hakikatnya yang
sangat suci dan maha tinggi berkenan untuk turun ke dunia dan mewujud dalam
rupa yang fana sebagai manusia hanya untuk menyelamatkan manusia agar terlepas
dari dosa. Sedangkan dari sisi manusia, penyelamatan merupakan suatu hal yang
misterius karena menyangkut kedudukan manusia sebagai ciptaan yang sebagai
subyek dan obyek keselamatan menjadi sangat penting, dan yang menjadi misteri
ialah seberapa besar sebenarnya kedudukan manusia itu sendiri di mata Allah sehingga
layak diselamatkan dan mengapa manusia diajak untuk bukan hanya menjadi pihak
yang diselamatkan tetapi juga bersama-sama dengan Allah mengupayakan
keselamatan kepada semua makhluk tanpa memandang hal-hal yang bisa membedakan
antar manusia dan menghalangi maksud dan tujuan keselamatan itu sendiri.
Namun selain dari misteri keselamatan itu sendiri, panggilan Allah
kepada manusia untuk turut serta secara aktif berperan dalam misteri
keselamatan turut menjadi misteri lain yang sangat agung dan mengherankan.
Betapa tidak, jika dipertimbangkan secara logis, panggilan untuk hidup dalam
jabatan imamat rajawi tidak memberikan satu keuntungan sedikit pun, malah
memberikan kerugian di berbagai sisi. Bayangkan, dengan memilih untuk menjalani
hidup imamat, seseorang secara sadar melepaskan keterikatannya kepada dunia,
dalam hal ini harta, kebebasan, dan kebutuhan dasar akan keinginan biologisnya.
Secara singkat, setiap pria yang bergabung dalam komunitas ikatan imamat rajawi
akan menyangkal diri dengan menyatakan terlepas secara sadar dan nyata dari 3
tuntutan diri alamiah dari dalam diri setiap pria yakni harta, jabatan, dan
kedudukan karena dengan menjadi seorang imam berarti seseorang harus bersedia
untuk tidak terikat dengan harta dunia atau hidup dalam ketidakpastian karena
tidak memiliki sumber pendapatan yang tetap dan malah setiap pendapatan yang
ada padanya harus rela ia berikan kepada orang lain yang membutuhkan atau
kepada Gereja bahkan pada saat ketika ia sesungguhnya juga sedang membutuhkan
dana untuk suatu keperluan, namun karena tugas imamat yang diembannya maka ia
harus rela melepaskan dana itu untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang lebih
membutuhkan dari ia.
Menjadi seorang imam juga memaksa setiap orang untuk lepas dari
keinginan mereka masing-masing dan menyerahkan diri untuk hidup dalam suatu
komunitas yang menjunjung tinggi kepentingan bersama dan proses-proses yang
harus ditempuh untuk mencapai tujuan Gereja yakni keselamatan setiap makhluk.
Dengan menjadi seorang imam, setiap orang harus melepaskan keinginan pribadinya
bahkan jika keinginan itu benar-benar memang dapat memberikan sumbangan yang
sangat berarti bagi komunitas karena menjadi hidup dalam Gereja berarti berada
dalam satu persatuan dan kesatuan yang erat dengan Gereja dan berada di bawah
bimbingan para uskup sebagai pengganti dari dewan para rasul dan secara
langsung berada di bawah bimbingan Bapa Suci sebagai pengganti yang sah dari
Pemegang Kunci Surga pertama kali yakni St. Petrus. Ketaatan yang total ini
terkadang memang membuahkan kekecewaan bagi setiap orang ketika keputusan yang
diambil oleh pihak otoritas Gereja menjadi berbeda dengan apa yang diharapkan.
Terkadang bahkan dengan keinginan yang positif dan membangun secara nyata,
Gereja diwakili oleh pihak otoritas hierarki setempat memiliki pandangan yang
berbeda akan hal tersebut. Pandangan ini secara nyata memang merupakan
pandangan yang subyektif, sehingga terkadang bisa berakibat lebih jauh
tergantung kemampuan pihak otoritas Gereja untuk menafsirkan situasi yang
terjadi. Keputusan yang diambil bisa berbuah hal yang jauh lebih baik dari
keinginan imam atau bahkan jauh lebih buruk lagi. Dalam hal ini, baik buruknya
realitas yang terjadi, setiap imam harus tetap tunduk kepada uskup dan Bapa
Suci sebagai pimpinan mereka, sebagaimana Kristus yang menyarankan agar setiap
orang berada dalam persatuan yang erat dengan para pemimpin mereka agar tujuan
bersama dapat tercapai dengan baik.
Menjadi seorang imam juga memaksa setiap orang untuk melepaskan
keinginan ragawi yang bahkan menjadi kebutuhan dasar dari setiap orang yakni
kebutuhan biologis karena dengan menjadi seorang imam, setiap orang harus
mengorbankan setiap yang dimilikinya untuk terlepas dari keterikatan dan
membiarkan Allah secara total bekerja atas dirinya dan menghasilkan buah yang
berlimpah. Tidak jarang hal yang ketiga ini yang menjadi titik terakhir
penghalang bagi setiap orang yang memiliki niat untuk bergabung dengan Gereja.
Banyak para pria muda yang memiliki keinginan besar untuk bergabung dengan
Gereja menjadi para gembala umat namun terhalang oleh syarat yang diajukan oleh
Gereja untuk mengambil sumpah hidup dalam kesucian jiwa dan raga. Apakah dengan
diajukannya syarat ini oleh Gereja berarti Gereja melarang setiap orang yang
berkehendak untuk menjadi seorang imam untuk mengalami cinta kasih dari sesama?
Sama sekali tidak karena dalam pandangannya yang berbeda namun menggembirakan,
Gereja menemukan sumber cinta lain yang mampu memberikan limpahan cinta jauh
daripada apa yang mampu diberikan dalam hubungan cinta kasih yang terjalin
antara 1 pasang insan ciptaan Allah. Limpahan cinta inilah yang pada dasarnya
tidak mampu dibendung oleh setiap orang bahkan oleh orang suci, para malaikat,
dan Bunda Maria sendiri karena cinta ini tidak terbatas, berbeda dengan jalinan
kasih antarmanusia yang memberikan cinta yang terbatas dan terkadang
menyakitkan, namun cinta yang bertumbuh dalam relasi imam dengan Allah tidak
pernah memberikan hal yang menyakitkan tetapi sangat membahagiakan bahkan bila
seorang imam mampu menyelami secara sungguh-sungguh dan sadar cinta Allah ini,
sedetik pun mereka tidak akan rela untuk lepas dari cinta ini. Inilah cinta
Allah yang memberikan Putera-Nya yang tunggal kepada dunia dalam wujud manusia
fana tanpa dosa yang penuh cinta, yang mewujud dalam Sakramen Ekaristi Maha
Kudus.
Categories:
Renungan - Wawasan