Dominus Vobiscum


Read More …


Read More …

Credo in unum Deum
Patrem omnipoténtem,
factórem cæli et terræ,
visibílium ómnium et invisibílium.
Et in unum Dóminum Iesum Christum,
Fílium Dei Unigénitum,
et ex Patre natum ante ómnia sæcula.
Deum de Deo, lumen de lúmine, Deum verum de Deo vero,
génitum, non factum, consubstantiálem Patri:
per quem ómnia facta sunt.
Qui propter nos hómines et propter nostram salútem
descéndit de cælis.
Et incarnátus est de Spíritu Sancto
ex María Vírgine, et homo factus est.
Crucifíxus étiam pro nobis sub Póntio Piláto;
passus, et sepúltus est,
Read More …

 
Adoro te devote, latens Deitas,
Quæ sub his figuris vere latitas;
Tibi se cor meum totum subjicit,
Quia te contemplans totum deficit.
Visus, tactus, gustus in te fallitur,
Sed auditu solo tuto creditur.
Credo quidquid dixit Dei Filius;
Nil hoc verbo veritátis verius.
In cruce latebat sola Deitas,
At hic latet simul et Humanitas,
Read More …


Read More …


            Sejalan dengan ensiklik yang dikeluarkan oleh Bapa Suci Benediktus XVI, Deus Caritas Est, yang menyatakan hakikat Allah sebagai kasih maka demikian pula Ekaristi adalah puncak dari kasih karena Ekaristi merupakan Allah Putera itu sendiri yang senantiasa dalam persatuan dengan Allah Tritunggal Maha Kudus. Namun, tidaklah cukup untuk tahu secara teori hakikat Allah sebagai cinta kasih, tanpa pemahaman yang lebih mendalam lagi yakni pemahaman dalam iman. Maka, sebagaimana ucapan St. Paulus Rasul, iman tanpa perbuatan adalah mati, demikian pula tidak ada gunanya sama sekali pengetahuan kita akan hakikat Allah sebagai cinta kasih jika tanpa disertai dengan perbuatan nyata kita karena dalam perbuatan kita itulah Sakramen Ekaristi mencapai makna yang sesungguhnya sebagai bukti cinta kasih Allah kepada manusia.
            Salah satu hal yang ingin saya angkat terkait tindakan nyata sebagai bukti iman akan hakikat Allah sebagai cinta kasih yakni terkait bukti cinta kasih yang mampu diberikan oleh orangtua dalam suatu keluarga kepada anak yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka. Gereja Katolik meyakini bahwa setiap anak yang dianugerahkan dalam suatu keluarga merupakan anugerah mulia dari Allah dan bahkan bukan hanya sebatas anugerah tetapi tanggungjawab besar yang diberikan oleh Allah kepada pasangan suami isteri untuk mendidik warga Kerajaan Surga itu dalam terang iman yang benar akan Allah Tritunggal Maha Kudus. Ini menjadi salah satu pokok penghayatan iman yang senantiasa dijunjung tinggi oleh Gereja Katolik, sebagaimana yang menjadi prinsip Gereja Katolik yang mendukung kehidupan (pro-life).
Read More …

Servus Servorum Dei, yang berarti Abdi dari para Abdi Allah merupakan semboyan yang menjadi pegangan bagi para Bapa Suci untuk menandakan bahwa sebenarnya mereka adalah pelayan dari semua umat dan gembala Allah bahkan dengan semua otoritas yang diberikan kepadanya. Tanpa bermaksud untuk mencampuri privilese yang secara khusus hanya dimiliki oleh Paus, sudah seharusnya para putra-putri altar juga mengambil semboyan ini sebagai moto pelayanan mereka. Menjadi abdi yang sesungguhnya dari para gembala umat Allah sekaligus menjadi abdi dan pelayan serta pelindung dari Ekaristi itu sendiri. Dengan segala keistimewaan yang diberikan kepadanya oleh Gereja dengan menjadi kaum di luar hierarkis yang diberikan kesempatan untuk berada pada jarak yang terdekat dengan Sakramen Yang Maha Mulia, maka baik secara sadar maupun tidak, para putra-putri altar telah mendapatkan suatu karunia Ilahi yang hampir sama besarnya dengan para imam dan para kudus karena bersama-sama dengan mereka, para putra-putri altar menjadi pihak yang diperbolehkan berada satu tempat di lingkungan altar suci, tempat yang paling dekat dengan Allah dan paling merasakan hadirat Ilahi pertama kali sesudah konsekrasi agung terjadi.
Namun yang seringkali terjadi di lapangan, para putra-putri altar justru menjadi pihak-pihak yang mengotori kesucian lingkungan altar bahkan sampai konsekrasi dilakukan untuk mengubah substansi duniawi menjadi materi ilahi. Dengan berbagai tindakan, sikap, dan perkataan mereka selama menjalankan tugas pelayanan di altar, tidak jarang mereka bahkan menciptakan suasana tidak khidmat yang justru harus tidak boleh dilakukan oleh semua pihak yang diperkenankan untuk berada di altar suci bersama-sama dengan para imam. Tidak jarang mereka berbicara selama pelayanan, membicarakan hal-hal yang tidak perlu; melakukan tindakan-tindakan yang tidak pantas untuk dilakukan oleh orang-orang yang mengenakan jubah pelayanan liturgis. Bahkan tidak jarang pulang tindakan tersebut mereka lakukan bahkan pada saat konsekrasi terjadi. Bagi sebagian orang, memang hal ini merupakan hal biasa yang tidak memiliki arti dan dampak apapun bagi mereka, tetapi bagi kesucian Ekaristi yang Maha Agung hal ini justru merupakan suatu pelecehan yang amat serius yang bisa dikategorikan sebagai sakrilegi.
Read More …

Bertempat di Kapel Hati Kudus Yesus, Kompleks RS St. Karolus Borromeus, Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus, telah diselenggarakan Selebrasi Agung Misa Penutupan Bulan Rosario 2011 yang dipersembahkan oleh Pastur Herman, SMM.
Misa yang diawali pada pukul 17.00 ini mengambil tema Maria, Ratu Perdamaian. Tema ini diambil mengingat semakin banyaknya orang yang menjadi korban dari adanya situasi yang tidak damai baik yang disebabkan oleh hal-hal besar misalnya perang, kondisi politik, ekonomi,sosial budaya, dan lain-lain maupun karena hal-hal kecil misalnya relasi yang tidak damai baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Seturut dengan tujuan Misa yakni sebagai ucapan syukur telah berjalannya bulan Rosario 2011 dengan amat khidmat terutama di lingkungan Kapel Hati Kudus Yesus, ditandai dengan aktifnya kaum muda-mudi Katolik yang tergabung dalam berbagai unit kategorial kegiatan dalam mengisi rangkaian ibadat rosario dari hari-hari bertempat di kapel yang sama, Pastur Herman mengisi khotbahnya mengenai pentingnya berdoa rosario dan makna dari setiap bulir doa rosario itu sendiri. Rosario hendaknya bukan sekadar untaian bulir tetapi menjadi suatu identitas bagi setiap orang Katolik, misalnya dengan cara selalu dibawa ke setiap tempat bepergian. Juga ditekankan bahwa dengan berdoa Rosario, umat Katolik bukan berarti menjadikan Bunda Maria sebagai Tuhan yakni dengan menyembahnya, tetapi umat Katolik sebatas menghargai Maria sebagai Bunda Ilahi.
Misa yang dirayakan dalam tata cara perayaan hari raya ini kemudian berakhir pada sekitar pukul 19.00 dengan jumlah umat yang hadir sampai di luar kapasitas kapel.
Semoga pada masa yang akan datang, penyelenggaran Misa Kudus dapat lebih meriah lagi dan diikuti dengan umat yang jauh lebih besar.
Read More …

Selibat merupakan salah satu cara menjalani hidup yang berarti tanpa mengikat diri dalam suatu ikatan pernikahan dengan lawan jenis, yakni antara pria dengan wanita. Tindakan selibat umum dilakukan oleh berbagai pihak dan malah dianjurkan dan tidak kadang menjadi suatu keharusan dalam ajaran-ajaran kepercayaan atau agama tertentu bagi para anggotanya yang ingin mencapai suatu target tertentu. 
Dalam Gereja Katolik, selibat ditujukan kepada mereka yang ingin menyatukan diri dalam persatuan kekal dengan Kristus melalui menjadi para imam Kristus dalam berbagai ordo dan persaudaraan dengan berbagai semangat berbeda tetapi tetap berpusat pada penghayatan akan pribadi Kristus sebagai penyelamat dunia dengan cara pandang yang berbeda-beda.

Secara umum, sebelum seseorang mengikrarkan diri untuk menjadi pengantin Kristus, baik itu menjadi suster, bruder, frater, imam maka ada tiga jenis kaul yang harus diucapkan (lebih dari tiga pada beberapa ordo/kongregasi/persaudaraan tertentu, tergantung dari spiritualitas yang diemban oleh kelompok tersebut). Ketiga kaul tersebut adalah kaul ketaatan, kaul kemurnian, dan kaul kemiskinan. Kaul yang terikat erat dengan pilihan hidup untuk selibat ialah kaul kemurnian. Dengan mengikrarkan diri pada kaul kemurnian, seseorang secara sadar dan penuh hasrat mengatakan bahwa selama hidupnya ia hanya akan berpusat pada Kristus dan melepaskan segala hasrat duniawi yang melekat pada dirinya sehingga dengan demikian hanya Kristuslah yang bekerja dalam dirinya, termasuk melepaskan diri dari ikatan pernikahan dengan lawan jenis. Di antara ketiga kaul tersebut, mungkin kaul kemurnian menjadi kaul yang paling berat terutama dikarenakan kebutuhan mendasar makhluk hidup yakni kebutuhan akan hasrat biologis. Banyak hal yang harus dipikirkan untuk kemudian secara sadar mengikrarkan diri pada kaul ini, terutama jika orang tersebut berasal dari kelompok masyarakat atau suku yang masih terikat kuat dengan sistem budaya patrilineal yang menekankan pentingnya sosok laki-laki dalam suatu garis keturunan. Hal ini pula yang sering menjadi penghalang bagi seseorang apabila ia menyatakan diri kepada keluarganya hasrat untuk menjawab panggilan yang diberikan oleh Allah kepadanya. Banyak orangtua yang secara tegas menyatakan penolakan mereka terhadap keinginan ini dengan alasan sang anak merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga tersebut atau mungkin dengan  alasan bahwa orangtuanya menginginkan anak tersebut untuk memilih jalan hidup lain yang dianggap oleh orangtuanya lebih cocok untuknya daripada menjalani hidup sebagai gembala Kristus. Terlepas dari segala penyebab tersebut, kini marilah kita melihat hubungan yang tercipta antara Gereja dan pilihan untuk hidup selibat.
Read More …


Vatican City, Sep 8, 2010 / 10:57 am (CNA/EWTN News).- Continuing his focus on the contribution of women to the Church, Pope Benedict XVI turned a second time to the medieval nun St. Hildegard of Bingen, whose life demonstrates that “women make a special contribution to theology.”
The Pope gave his general audience catechesis this morning in the Paul VI Hall, dedicating his teaching to a subject he began last week with a reflection on St. Hildegard of Bingen, a twelfth-century German Benedictine religious.
Speaking on the mystical visions that the saint had throughout her life, the Holy Father commented that “they were rich in theological content.” “They referred to the main events of the history of salvation and use a mainly poetic and symbolic language,” he noted. “For example, in her best known work entitled 'Scivias' (Know the Ways) she summarized the events of the history of salvation in thirty-five visions, from the creation of the world to the end of time.”
“In the central part of her work she develops the theme of the mystical marriage between God and humankind which came about in the Incarnation,” the Holy Father added.
“Even in this brief outline,” he continued, “we see how theology can receive a special contribution from women, because they are capable of speaking of God and of the mysteries of the faith with their specific intelligence and sensitivity.”
Read More …

ENCYCLICAL LETTER
CARITAS IN VERITATE
OF THE SUPREME PONTIFF
BENEDICT XVI
TO THE BISHOPS
PRIESTS AND DEACONS
MEN AND WOMEN RELIGIOUS
THE LAY FAITHFUL
AND ALL PEOPLE OF GOOD WILL
ON INTEGRAL HUMAN DEVELOPMENT
IN CHARITY AND TRUTH

1. Charity in truth, to which Jesus Christ bore witness by his earthly life and especially by his death and resurrection, is the principal driving force behind the authentic development of every person and of all humanity. Love — caritas — is an extraordinary force which leads people to opt for courageous and generous engagement in the field of justice and peace. It is a force that has its origin in God, Eternal Love and Absolute Truth. Each person finds his good by adherence to God's plan for him, in order to realize it fully: in this plan, he finds his truth, and through adherence to this truth he becomes free (cf. Jn 8:32). To defend the truth, to articulate it with humility and conviction, and to bear witness to it in life are therefore exacting and indispensable forms of charity. Charity, in fact, “rejoices in the truth” (1 Cor 13:6). All people feel the interior impulse to love authentically: love and truth never abandon them completely, because these are the vocation planted by God in the heart and mind of every human person. The search for love and truth is purified and liberated by Jesus Christ from the impoverishment that our humanity brings to it, and he reveals to us in all its fullness the initiative of love and the plan for true life that God has prepared for us. In Christ, charity in truth becomes the Face of his Person, a vocation for us to love our brothers and sisters in the truth of his plan. Indeed, he himself is the Truth (cf. Jn 14:6).
2. Charity is at the heart of the Church's social doctrine. Every responsibility and every commitment spelt out by that doctrine is derived from charity which, according to the teaching of Jesus, is the synthesis of the entire Law (cf. Mt 22:36- 40). It gives real substance to the personal relationship with God and with neighbour; it is the principle not only of micro-relationships (with friends, with family members or within small groups) but also of macro-relationships (social, economic and political ones). For the Church, instructed by the Gospel, charity is everything because, as Saint John teaches (cf. 1 Jn 4:8, 16) and as I recalled in my first Encyclical Letter, “God is love” (Deus Caritas Est): everything has its origin in God's love, everything is shaped by it, everything is directed towards it. Love is God's greatest gift to humanity, it is his promise and our hope.
I am aware of the ways in which charity has been and continues to be misconstrued and emptied of meaning, with the consequent risk of being misinterpreted, detached from ethical living and, in any event, undervalued. In the social, juridical, cultural, political and economic fields — the contexts, in other words, that are most exposed to this danger — it is easily dismissed as irrelevant for interpreting and giving direction to moral responsibility. Hence the need to link charity with truth not only in the sequence, pointed out by Saint Paul, of veritas in caritate (Eph 4:15), but also in the inverse and complementary sequence of caritas in veritate. Truth needs to be sought, found and expressed within the “economy” of charity, but charity in its turn needs to be understood, confirmed and practised in the light of truth. In this way, not only do we do a service to charity enlightened by truth, but we also help give credibility to truth, demonstrating its persuasive and authenticating power in the practical setting of social living. This is a matter of no small account today, in a social and cultural context which relativizes truth, often paying little heed to it and showing increasing reluctance to acknowledge its existence.
Read More …

ENCYCLICAL LETTER
SPE SALVI
OF THE SUPREME PONTIFF
BENEDICT XVI
TO THE BISHOPS
PRIESTS AND DEACONS
MEN AND WOMEN RELIGIOUS
AND ALL THE LAY FAITHFUL
ON CHRISTIAN HOPE

Introduction
1. “SPE SALVI facti sumus”—in hope we were saved, says Saint Paul to the Romans, and likewise to us (Rom 8:24). According to the Christian faith, “redemption”—salvation—is not simply a given. Redemption is offered to us in the sense that we have been given hope, trustworthy hope, by virtue of which we can face our present: the present, even if it is arduous, can be lived and accepted if it leads towards a goal, if we can be sure of this goal, and if this goal is great enough to justify the effort of the journey. Now the question immediately arises: what sort of hope could ever justify the statement that, on the basis of that hope and simply because it exists, we are redeemed? And what sort of certainty is involved here?
Faith is Hope
2. Before turning our attention to these timely questions, we must listen a little more closely to the Bible's testimony on hope. “Hope”, in fact, is a key word in Biblical faith—so much so that in several passages the words “faith” and “hope” seem interchangeable. Thus the Letter to the Hebrews closely links the “fullness of faith” (10:22) to “the confession of our hope without wavering” (10:23). Likewise, when the First Letter of Peter exhorts Christians to be always ready to give an answer concerning the logos—the meaning and the reason—of their hope (cf. 3:15), “hope” is equivalent to “faith”. We see how decisively the self-understanding of the early Christians was shaped by their having received the gift of a trustworthy hope, when we compare the Christian life with life prior to faith, or with the situation of the followers of other religions. Paul reminds the Ephesians that before their encounter with Christ they were “without hope and without God in the world” (Eph 2:12). Of course he knew they had had gods, he knew they had had a religion, but their gods had proved questionable, and no hope emerged from their contradictory myths. Notwithstanding their gods, they were “without God” and consequently found themselves in a dark world, facing a dark future. In nihil ab nihilo quam cito recidimus (How quickly we fall back from nothing to nothing)[1]: so says an epitaph of that period. In this phrase we see in no uncertain terms the point Paul was making. In the same vein he says to the Thessalonians: you must not “grieve as others do who have no hope” (1 Th 4:13). Here too we see as a distinguishing mark of Christians the fact that they have a future: it is not that they know the details of what awaits them, but they know in general terms that their life will not end in emptiness. Only when the future is certain as a positive reality does it become possible to live the present as well. So now we can say: Christianity was not only “good news”—the communication of a hitherto unknown content. In our language we would say: the Christian message was not only “informative” but “performative”. That means: the Gospel is not merely a communication of things that can be known—it is one that makes things happen and is life-changing. The dark door of time, of the future, has been thrown open. The one who has hope lives differently; the one who hopes has been granted the gift of a new life.
Read More …

9 Oktober 1601. Balatentara Kaisar Roma, Rudolph II, dibawah komando bangsawan Matthias menghadapi pasukan Turki yang jauh lebih besar di luar wilayah Alba Regalis (sekarang disebut Szekesfehervar) di tengah-tengah wilayah dataran di Hongaria. Di dalam kereta yang ditumpangi oleh sang bangsawan adalah seorang pengarah spiritual, yaitu bruder Laurensius dari Brindisi, seorang imam-biarawan Kapucin. Dia telah dikirim oleh Sri Paus Klemen VIII untuk menyebarluaskan pembaruan dalam kaum Kapucin dan memimpin misi terhadap kelompok bidaah-bidaah di Austria dan Bohemia. Bruder Laurensius berkata-kata kepada pasukan, supaya mereka bertempur dengan sepenuh hati dan menjanjikan mereka kemenangan: "Majulah! Kemenangan adalah milik kita," dia berseru. Kemudian, menunggangi seekor kuda dan mengacung-acungkan salibnya, dia memimpin mereka melawan balatentara Turki. Di pertempuran yang ganas tersebut, secara mukjijat dia selamat tanpa celaka sedikitpun. Pasukan Kristen memenangkan pertempuran dan bruder Laurensius dianggap sebagai pahlawan. Salibnya yang dianggap telah membantu mereka, nantinya dihormati sebagai relikwi. Laurensius dari Brindisi adalah satu-satunya doktor Gereja yang telah memimpin suatu balatentara di medan perang.
Read More …

Sekali dalam setahun, Gereja Katolik mengkhususkan diri pada kesempatan untuk mengenang para umat beriman yang telah mendahulu untuk menghadap Bapa di surga. Pengenangan akan umat beriman ini tentu saja ditujukan kepada umat-umat beriman yang masih berada di api penyucian, sehingga belum berada dalam persatuan yang utuh dengan Bapa di surga. Api penyucian merupakan suatu kondisi tempat umat-umat beriman secara utuh pribadi menyadari bahwa walaupun mereka boleh untuk segera masuk surga, namun dengan masih adanya dosa-dosa yang melekat pada diri mereka, mereka tetap tidak pantas untuk masuk ke dalam hadirat surga, ke dalam hadirat yang sangat murni dan suci. Mereka lebih memilih dimurnikan oleh api yang sama dengan api neraka, untuk mencapai kemurnian dari dosa daripada langsung masuk ke dalam surga tetapi akan mendapat penderitaan yang sangat mendalam karena dosa yang masih mereka miliki. Walaupun memang api yang sama dengan api yang ada di dalam neraka yang memurnikan mereka, namun api ini membawa suatu kebahagiaan yang sangat besar karena mereka memiliki suatu pengharapan yang pasti bahwa kelak suatu saat, mereka pasti akan menghadap Allah Tritunggal jika mereka telah mencapai suatu kemurnian dari dosa. Hal ini berbeda dengan api yang ada di neraka, yang tentu saja tidak membawah pengharapan pasti akan berada dalam persatuan dengan Tuhan melainkan menjadi suatu penghukuman atas dosa yang telah mereka perbuat.

Perlu juga diketahui bahwa neraka sendiri bukan merupakan suatu tempat yang diberikan Tuhan sebagai hukuman kepada manusia akibat dosa-dosa yang telah mereka lakukan yang dianggap terlalu berat bahkan untuk dimurnikan dalam api penyucian sehingga mereka tidak memiliki harapan akan diterima dalam kerajaan Surga.
Dalam suatu ritual eksorsime (pengusiran setan - red), seorang imam pernah menanyakan kepada sosok iblis yang merasuki korban tentang identitas neraka sebagai ciptaan Tuhan pula. Namun sang iblis dengan tegas menolak, bahwa neraka jelas bukan ciptaan Tuhan. Karena satu-satunya hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Tuhan ialah menciptakan neraka sebagai hukuman atas dosa manusia. Dari sini dengan tegas pula dinyatakan, bahwa sejahat-jahatnya manusia, Tuhan sendiri tidak pernah dan tidak akan pernah menciptakan suatu hukuman kepada manusia. Iblis sendiri yang telah menciptakan neraka untuk mencari pasukan-pasukan untuk pada hari terakhir nanti menyerang Kerajaan Surga (baca Kitab Wahyu). Karena memang Tuhan sejak awal telah memberikan kebebasan pada manusia untuk menetapkan pilihan dalam hidupnya, masuk ke dalam kebahagiaan abadi di surga atau tidak, tentu dengan berbagai macam rintangan yang harus dihadapi oleh setiap manusia.

Read More …

When the idea is not right, God says, "No"
No - when the idea is not the best
No - when the idea is absolutely wrong
No - when although it may help you it could create problems for someone
else.

When the time is not right, God says, "Slow"
What a catastrophe it would be
If God answered every prayer at the snap of your fingers.
Do you know what would happen?
God would become your servant, not your master.

Remember : God's delay is not God's denial
God's timing is perfect
Patience is what we need in prayer

When you are not right, God says, "Grow"
The selfish person must grow in unselfishness
The cautious person must grow in courage
The timid person must grow in confidence
The dominating person must grow in sensitivity
The critical person must grow in tolerance
The negative person must grow in positive attitudes
The pleasure-seeking person must grow in compassion for suffering people

When everything is all right, God says, "Go"
Then miracles happen
A hopeless alcoholic is set free
A drug addict finds release
A doubter becomes a child in his belief
Diseased tissue responds to treatment, and healing begins
The door to your dream suddenly swings open

And there stands God saying, "Go!"
Read More …

Kalender Liturgi

Artikan situs ini (Translator)

Buku tamu


ShoutMix chat widget

Lokasi Tamu

Mari Berlangganan

GET UPDATE VIA EMAIL
Dapatkan kiriman artikel terbaru langsung ke email anda!
Diciptakan berkat anugerah Allah kepada Tarsisius Angelotti Maria. Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

Cari Blog Ini