Berdasarkan Kompendium Katekismus Gereja Katolik, artikel 218,
Liturgi adalah perayaan misteri Kristus, dan secara khusus misteri kebangkitan-Nya. Dengan melaksanakan imamat Yesus Kristus, liturgi menyatakan dalam tanda-tanda dan membawa pengudusan bagi umat manusia. Pemujaan kepada Allah dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus, yaitu oleh kepala dan para anggotanya.
sedangkan pada artikel 219 dinyatakan peran liturgi sebagai berikut :
Liturgi sebagai tindakan suci par excellence adalah puncak yang menjadi arah
kegiatan Gereja dan merupakan sumber semua kekuatannya. Melalui liturgi, Kristus
meneruskan karya penebusan kita dalam, dengan, dan melalui Gereja.
Sejalan dengan ajaran tersebut, dapat dipahami bahwa melalui liturgi, Gereja berusaha untuk mengalami persatuannya yang luhur dengan Allah dan dalam liturgi pula, Gereja senantiasa berusaha untuk menemukan jatidiri Kristus yang sepenuhnya. Oleh karena itu, setiap liturgi sudah seharusnya dijalankan sepenuhnya dengan tetap memberi fokus utama pada semangat yang dibawa oleh setiap ritus liturgi. Dalam liturgi, Gereja berupaya untuk menghadirkan Allah yang telah lahir, berkarya, disalib, wafat, bangkit, dan naik ke surga dalam kehidupan manusia di dalam setiap aspek kehidupan duniawi. Namun bukan berarti, liturgi harus disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Karena pada hakikatnya, liturgi berasal dari Allah sehingga liturgi memiliki sifat yang pertama utama yakni suci karena kesucian yang berasal dari Allah yang telah mewahyukannya kepada manusia. Kesucian liturgi hendaknya senantiasa dipertahankan karena liturgi menjadi salah satu cara bagi Allah dan manusia untuk mencapai persatuan yang sempurna, namun kesucian hanyalah merupakan suatu sifat. Hal yang jauh lebih penting lagi ialah maksud, semangat, dan tujuan yang dibawa oleh liturgi itu sendiri. Dari sisi manusia, liturgi juga menjadi bentuk kerinduan manusia untuk memahami pribadi Allah dan hasrat mendalam untuk segera bersatu dengan Allah sehingga dalam setiap liturgi, terjadi interaksi dua arah antara Allah dan manusia yang pada intinya hendak mencapai persatuan yang sempurna dalam kasih. Hal ini selaras dengan permohonan yang diutarakan oleh Yesus kepada Bapa yakni supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Yesus dan Bapa adalah satu.
Persatuan ini tidak mungkin tercapai jika setiap umat yang hadir dalam setiap perayaan liturgi tidak mampu menangkap semangat yang dibawakan oleh liturgi itu sendiri. Di sinilah terletak peran yang utama dari kaum klergi yakni untuk menghadirkan Allah dalam setiap kesempatan dan aspek hidup manusia terutama dalam setiap aspek liturgis. Setiap ritus liturgi yang mengiringi ungkapan iman hendaknya secara jelas dan nyata mengungkapkan harapan iman seseorang akan Allah. Dalam liturgi kita hendak bersatu dengan Allah, oleh karena itu dalam liturgi pula tidak perlu ada sensasi kemewahan yang berlebihan. Dalam aspek-aspek tertentu, memang kita menunjukkan kemegahan untuk menyatakan kemuliaan hadirat Allah yang hadir. Namun jangan kiranya kemegahan yang ingin kita tunjukkan berubah haluan menjadi hasrat kita untuk menunjukkan suatu kemegahan, suatu keindahan dengan sama sekali menghiraukan suasana Ilahi yang seharusnya menjadi fokus utama dari kemegahan sarana pendukung liturgi tersebut.
Memang dalam menghayati liturgi, diperlukan suatu sarana sehingga umat dapat terbantu untuk memahami maksud dan semangat liturgi. Namun tidak jarang pula, karena hasrat yang berlebihan akan hadirnya suatu keindahan dalam Gereja yang 'cenderung memiliki stigma kaku dan ketinggalan zaman', umat berusaha untuk menghadirkan dekorasi-dekorasi dan sarana pendukung lainnya yang 'sesuai' dengan liturgi. Namun yang terjadi ialah liturgi kehilangan semangatnya sehingga yang terjadi umat hanya mengagumi keindahan Gereja dengan segala pernak-pernik dan dekorasinya tetapi tidak mampu menangkap apa yang sebenarnya menjadi semangat dari liturgi tersebut.
Memang dalam menghayati liturgi, diperlukan suatu sarana sehingga umat dapat terbantu untuk memahami maksud dan semangat liturgi. Namun tidak jarang pula, karena hasrat yang berlebihan akan hadirnya suatu keindahan dalam Gereja yang 'cenderung memiliki stigma kaku dan ketinggalan zaman', umat berusaha untuk menghadirkan dekorasi-dekorasi dan sarana pendukung lainnya yang 'sesuai' dengan liturgi. Namun yang terjadi ialah liturgi kehilangan semangatnya sehingga yang terjadi umat hanya mengagumi keindahan Gereja dengan segala pernak-pernik dan dekorasinya tetapi tidak mampu menangkap apa yang sebenarnya menjadi semangat dari liturgi tersebut.
Kini dalam semangat Adven, marilah kiranya kita sedikit demi sedikit dengan perlahan mencoba untuk masuk ke dalam semangat Adven yakni semangat penantian dengan penuh harapan akan kelahiran Kristus ke dunia. Penantian bukan selalu identik dengan tidak adanya suasana bahagia, justru di saat inilah kita merasakan kebahagiaan kita mencapai titik awalnya yakni karena kita mendapatkan kepastian bahwa setelah waktu yang sedemikian lama menunggu masa penebusan dosa, kita akan diberikan pribadi Kristus yang mulia sebagai Tuhan dan sahabat kita. Dengan tetap berpusat pada Ekaristi, marilah dalam semangat Adven kita menyatakan cinta kita kepada sesama karen pengharapan penuh iman akan kelahiran Kristus akan mencapai kesempurnaannya saat kita mampu membuka mata dan telinga kita bagi sesama, yakni memperhatikan mereka yang berkekurangan dan menderita, bukan hanya fisik tetapi juga jiwa.
Selamat Masa Adven dan selamat menjalani Tahun Ekaristi!!
Ad Maiorem Dei Gloriam
Ad Maiorem Dei Gloriam
Categories:
Renungan - Wawasan