Dominus Vobiscum


            Sejalan dengan ensiklik yang dikeluarkan oleh Bapa Suci Benediktus XVI, Deus Caritas Est, yang menyatakan hakikat Allah sebagai kasih maka demikian pula Ekaristi adalah puncak dari kasih karena Ekaristi merupakan Allah Putera itu sendiri yang senantiasa dalam persatuan dengan Allah Tritunggal Maha Kudus. Namun, tidaklah cukup untuk tahu secara teori hakikat Allah sebagai cinta kasih, tanpa pemahaman yang lebih mendalam lagi yakni pemahaman dalam iman. Maka, sebagaimana ucapan St. Paulus Rasul, iman tanpa perbuatan adalah mati, demikian pula tidak ada gunanya sama sekali pengetahuan kita akan hakikat Allah sebagai cinta kasih jika tanpa disertai dengan perbuatan nyata kita karena dalam perbuatan kita itulah Sakramen Ekaristi mencapai makna yang sesungguhnya sebagai bukti cinta kasih Allah kepada manusia.
            Salah satu hal yang ingin saya angkat terkait tindakan nyata sebagai bukti iman akan hakikat Allah sebagai cinta kasih yakni terkait bukti cinta kasih yang mampu diberikan oleh orangtua dalam suatu keluarga kepada anak yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka. Gereja Katolik meyakini bahwa setiap anak yang dianugerahkan dalam suatu keluarga merupakan anugerah mulia dari Allah dan bahkan bukan hanya sebatas anugerah tetapi tanggungjawab besar yang diberikan oleh Allah kepada pasangan suami isteri untuk mendidik warga Kerajaan Surga itu dalam terang iman yang benar akan Allah Tritunggal Maha Kudus. Ini menjadi salah satu pokok penghayatan iman yang senantiasa dijunjung tinggi oleh Gereja Katolik, sebagaimana yang menjadi prinsip Gereja Katolik yang mendukung kehidupan (pro-life).
Sebagaimana suatu hadiah yang diberikan kepada seorang sahabat, yang sudah sepantasnya dijaga demi menjaga keharmonisan relasi dengan pihak yang memberi hadiah maka demikian pula yang seharusnya dilakukan oleh setiap pasangan suami isteri dalam menjaga karunia keturunan yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Tanggung jawab yang sudah selayaknya ditunjukkan merupakan bukti iman mereka sendiri akan hakikat Allah sebagai cinta kasih. Namun, jika menilik apa yang menjadi kecenderungan zaman sekarang yakni dengan jumlah perekrutan tenaga kerja sebagai pengasuh bayi (baby sitter) yang cukup besar, maka bisa diambil suatu premis umum  yakni semakin sedikitnya waktu yang disediakan oleh orangtua untuk memberikan pendampingan kepada anak-anaknya. Dengan menggunakan kesibukan profesi sebagai alasan, mereka lebih mempercayakan orang lain yang mereka pekerjakan untuk melakukan tugas perawatan bayi. Memang, secara kasat mata, si anak tampak terpenuhi kebutuhannya dan bahkan mungkin sudah kelihatan sangat bahagia dengan tersedianya seorang pengasuh bayi yang senantiasa berada di sampingnya. Namun, hal yang tidak diperhatikan oleh kedua orangtua ialah hilangnya kesempatan baik bagi sang anak maupun orangtua untuk secara intens dan pribadi menjalin suatu relasi hangat kekeluargaan. Relasi yang terjalin erat malah antara si anak dengan pengasuhnya yang secara nyata bukan merupakan orangtua kandung dari si anak. Sovinisme dan materialisme dunia secara gamblang telah mengubah dunia pendidikan menjadi dunia pengajaran, orang-orang menjadi tidak peduli lagi dengan proses dan nilai-nilai yang diajarkan selama proses itu berlangsung tetapi lebih kepada hasil akhir dari proses tersebut. Maka tidak heran jika zaman sekarang, sangat banyak generasi muda yang dianggap telah menyimpang oleh generasi tua, karena dianggap tidak mewarisi nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Tapi dengan kecenderungan zaman sekarang, pihak generasi muda tidak dapat ditimpakan kesalahan tersebut secara utuh karena kesalahan tersebut terjadi bukan karena kesalahan mereka sendiri tapi juga melibatkan beberapa factor lain yang mungkin peran orangtua ada di dalamnya. Orangtua zaman sekarang malah cenderung lebih menimpakan kesalahan yang diperbuat oleh sang anak justru kepada anak itu sendiri, tidak berani untuk melihat jauh lebih dalam tentang apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan dari kesalahan tersebut. Akibatnya anak cenderung melihat orangtua sebagai sosok yang menghukum bukan sebagai sosok keluarga yang rela berada bersama saat suka dan duka. Keluarga bukan hanya berarti kelompok sosial yang terjadi akibat adanya hubungan darah tetapi jauh lebih berarti kepada kelompok yang tercipta akibat adanya relasi yang kuat dan kokoh antara para anggotanya. Dengan relasi ini, mereka bersama-sama menghargai, mencintai, dan mendukung satu sama lain bahkan dalam saat-saat terburuk kehidupan salah seorang anggotanya.
Pola relasi yang turut menjadi perhatian pula yakni tanggapan yang diberikan oleh orangtua ketika anak mereka berada dalam posisi yang dianggap mengecewakan orangtua. Hal ini bisa berarti sang anak melakukan kesalahan atau mungkin melakukan sesuatu hal yang sebenarnya bukan merupakan suatu kesalahan namun karena sang orangtua sedang dalam kondisi yang tidak nyaman pada saat hal tersebut terjadi, maka terjadilah suatu hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi yang tidak jarang kejadian tersebut memicu konflik kedua belah pihak, baik yang menghasilkan emosi maupun tidak. Tidak jarang pula emosi ini bukan hanya dinyatakan dalam ucapan tetapi juga dalam tindakan-tindakan negatif yang berujung pada kekasaran, yang sudah pasti dapat diketahui dalam hal ini yang menjadi korban adalah sang anak sendiri.
Secara jelas, hal ini merupakan indicator hilangnya cinta dalam suatu keluarga dan berarti keluarga tersebut secara jelas menolak Allah sendiri dalam keluarga mereka walaupun dalam ucapan, mereka menyatakan iman mereka akan hakikat Allah sebagai cinta kasih. Tapi dengan tindakan yang cenderung menggantikan pendidikan dan pendampingan anak dengan sekadar tugas profesi, maka keindahan relasi dan penanaman kasih sayang antara orangtua dan anak menjadi hilang. Dalam saat-saat ini justru Allah hadir sehingga dengan hilangnya kesempatan ini, secara jelas mereka menolak Allah sendiri dan dengan demikian menolak Ekaristi Suci.
Apakah ini berarti bahwa jika suatu keluarga melakukan hal tersebut maka mereka berada dalam keadaan yang tidak layak untuk mendapatkan Komuni Suci? Jika kita menilik dari hakikat Komuni Suci itu sendiri, hal ini bisa berarti yak arena Komuni Suci merupakan Tubuh Kristus sendiri yang harus senantiasa dalam keadaan suci dan di tempat yang suci, bersih dari noda. Maka sudah sejak dari awal dianjurkan kepada setiap umat yang akan menerima Komuni Suci untuk melakukan persiapan batin terlebih dahulu untuk menyucikan batin mereka sebagai tempat yang akan menjadi takhta Allah segera sesudah Tubuh Kristus memasuki tubuh mereka. Maka dengan terjadinya tindakan penghilangan relasi cinta kasih antara orang tua dan anak, maka dengan sendirinya mereka menjadikan batin mereka sebagai tempat yang tidak layak untuk dijadikan takhta Allah dan dengan demikian pula sudah seharusnya mereka tidak menerima Komuni Suci karena ini akan berarti sakrilegi. Namun solusi yang dapat ditempuh ialah dengan menerima Sakramen Rekonsiliasi karena dengan Sakramen ini, dosa dibersihkan dan batin akan kembali berada dalam kondisi yang bersih sehingga layak menjadi takhta Allah. Tapi hal ini bukan pula berarti mereka diperbolehkan untuk mengulangi hal yang sama dan jika ingin kembali menyambut Komuni Suci, mereka kembali boleh mencari rekonsiliasi antara mereka dengan Allah karena jika hal ini mereka ulangi lagi, sama saja dengan melakukan tindakan penghinaan yang sangat serius terhadap Sakramen Ekaristi yang Maha Agung, suatu dosa besar yang mungkin hanya para episkopal/uskup yang boleh menjadi perantara Allah untuk membawakan rekonsiliasi atas jiwa mereka.
            Cinta adalah kasih, dan kasih tidak akan mencapai keluhurannya yang paling tinggi dalam ucapan, tetapi lebih terutama dalam perkataan karena memang iman tanpa perbuatan adalah mati.

Categories:

Leave a Reply

Kalender Liturgi

Artikan situs ini (Translator)

Buku tamu


ShoutMix chat widget

Lokasi Tamu

Mari Berlangganan

GET UPDATE VIA EMAIL
Dapatkan kiriman artikel terbaru langsung ke email anda!
Diciptakan berkat anugerah Allah kepada Tarsisius Angelotti Maria. Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

Cari Blog Ini