Dominus Vobiscum

Selibat merupakan salah satu cara menjalani hidup yang berarti tanpa mengikat diri dalam suatu ikatan pernikahan dengan lawan jenis, yakni antara pria dengan wanita. Tindakan selibat umum dilakukan oleh berbagai pihak dan malah dianjurkan dan tidak kadang menjadi suatu keharusan dalam ajaran-ajaran kepercayaan atau agama tertentu bagi para anggotanya yang ingin mencapai suatu target tertentu. 
Dalam Gereja Katolik, selibat ditujukan kepada mereka yang ingin menyatukan diri dalam persatuan kekal dengan Kristus melalui menjadi para imam Kristus dalam berbagai ordo dan persaudaraan dengan berbagai semangat berbeda tetapi tetap berpusat pada penghayatan akan pribadi Kristus sebagai penyelamat dunia dengan cara pandang yang berbeda-beda.

Secara umum, sebelum seseorang mengikrarkan diri untuk menjadi pengantin Kristus, baik itu menjadi suster, bruder, frater, imam maka ada tiga jenis kaul yang harus diucapkan (lebih dari tiga pada beberapa ordo/kongregasi/persaudaraan tertentu, tergantung dari spiritualitas yang diemban oleh kelompok tersebut). Ketiga kaul tersebut adalah kaul ketaatan, kaul kemurnian, dan kaul kemiskinan. Kaul yang terikat erat dengan pilihan hidup untuk selibat ialah kaul kemurnian. Dengan mengikrarkan diri pada kaul kemurnian, seseorang secara sadar dan penuh hasrat mengatakan bahwa selama hidupnya ia hanya akan berpusat pada Kristus dan melepaskan segala hasrat duniawi yang melekat pada dirinya sehingga dengan demikian hanya Kristuslah yang bekerja dalam dirinya, termasuk melepaskan diri dari ikatan pernikahan dengan lawan jenis. Di antara ketiga kaul tersebut, mungkin kaul kemurnian menjadi kaul yang paling berat terutama dikarenakan kebutuhan mendasar makhluk hidup yakni kebutuhan akan hasrat biologis. Banyak hal yang harus dipikirkan untuk kemudian secara sadar mengikrarkan diri pada kaul ini, terutama jika orang tersebut berasal dari kelompok masyarakat atau suku yang masih terikat kuat dengan sistem budaya patrilineal yang menekankan pentingnya sosok laki-laki dalam suatu garis keturunan. Hal ini pula yang sering menjadi penghalang bagi seseorang apabila ia menyatakan diri kepada keluarganya hasrat untuk menjawab panggilan yang diberikan oleh Allah kepadanya. Banyak orangtua yang secara tegas menyatakan penolakan mereka terhadap keinginan ini dengan alasan sang anak merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga tersebut atau mungkin dengan  alasan bahwa orangtuanya menginginkan anak tersebut untuk memilih jalan hidup lain yang dianggap oleh orangtuanya lebih cocok untuknya daripada menjalani hidup sebagai gembala Kristus. Terlepas dari segala penyebab tersebut, kini marilah kita melihat hubungan yang tercipta antara Gereja dan pilihan untuk hidup selibat.


Dalam kehidupan-Nya, Kristus, Sang Pendiri dan Kepala Gereja, sama sekali secara eksplisit tidak pernah mengatakan bahwa seseorang harus tidak menikah jika ingin menjadi murid-Nya. Secara implisit, memang terkandung makna akan hal tersebut. Ketika seorang muda yang kaya raya menemui Yesus dan menyampaikan hasratnya untuk mengikuti Yesus, Yesus berkata kepadanya agar ia menjual segala harta miliknya kemudian datang mengikuti Yesus dan memanggul salibnya. Melalui perkataan tersebut, Yesus mengatakan bahwa untuk menjadi pengikut Kristus secara utuh, setiap orang harus berada dalam kondisi tidak terikat dengan dunia. Hal ini dipertegas Kristus pula saat ia mengutus ketujuh puluh murid pergi dalam berpasangan menuju kota-kota di Israel. Dalam nasihat-Nya, Ia mengatakan agar para murid tidak mempersiapkan bekal-bekal maupun peralatan yang diperlukan dalam perjalanan mereka kelak. Mereka tidak boleh membawa perlengkapan selain dari apa yang melekat pada tubuh mereka saat itu, bahkan makanan dan minuman pun tidak. Dengan begitu, Yesus mengajarkan mereka untuk terlepas dari segala keterikatan dan membiarkan Allah bekerja secara total dalam diri mereka. Mengenai hal ini, Yesus pernah berkata pada para murid bahwa dalam segala kemegahannya, Salomo tidak pernah mengenakan yang lebih indah daripada yang dikenakan oleh bunga bakung di padang, serta burung merpati yang dijual dua dinar di pasar. Ia menegaskan bagaimana penyertaan Allah kepada makhluk-makhluk ini dan bagaimana Allah akan lebih menyertai manusia yang merupakan citra Allah sendiri. Kristus menegaskan agar dalam setiap jalan hidupnya, para murid senantiasa lepas dari rasa cemas akan apa yang terjadi. Kiranya hal itu tetap menjadi rahasia Allah dan tugas para murid untuk menjalaninya dan membiarkan Allah menentukan apa yang seharusnya terjadi atas diri mereka.

Atas pola hidup yang diajarkan Yesus kepada para murid selama masa kehidupan Yesus di dunia, Gereja mendasarkan diri pada pola hidup yang sama. Setiap imam dituntut untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada penyelenggaraan Allah atas diri mereka, lepas dari segala kecemasan dan keterikatan yang berasal dari dunia. 
Namun begitu, disadari atau tidak, banyak yang berpendapat bahwa status selibat yang dikenakan oleh Gereja kepada para imam merupakan suatu hal yang seharusnya bukan menjadi suatu kewajiban bagi seseorang yang ingin menjalani hidup sebagai gembala Kristus. Bagi mereka, selibat adalah suatu beban.
Namun, apakah benar selibat merupakan suatu beban yang harus dipikul oleh setiap imam, khususnya?
Secara pribadi, menurut saya, selibat justru merupakan suatu anugerah luhur dan menjadi yang satu-satunya mampu diberikan oleh Gereja Katolik kepada para imam. Gereja tidak memiliki hadiah lain yang mampu diberikan kepada para imam selain kehidupan selibat yang harus dijalani oleh para gembala Kristus ini. Kenapa selibat merupakan suatu hadiah?
Karena Gereja menyadari bahwa jika seorang imam benar-benar secara tulus menjalani kehidupan spiritualnya sebagai gembala Kristus yang tidak lain merupakan pribadi Kristus yang lain (alter Christi) maka ia secara tidak sadar akan mengalami, suatu hal yang saya secara pribadi menyebutnya, lepasnya jiwa dari persatuan dengan tubuh. Hal yang saya maksudkan bukan berarti kematian secara fisik tetapi lebih memberikan arti yang lebih mendalam, yang untuk memahaminya kita harus tetap bertolak dari kehidupan imamat yang bersumber dan berpusat pada Sakramen Yang Maha Kudus.
Jika seorang imam menjalani hidup imamatnya dengan benar, mempersembahkan Tubuh dan Darah yang Termulia dengan tulus hati, penuh cinta dan kerendahan hati dan jiwa, maka ia akan masuk ke dalam suatu situasi yang ia sendiri tidak akan mampu menjelaskan dan bahkan lebih jauh, ia akan merasakan bahwa sedetik pun sesungguhnya ia tidak ingin lepas dari kondisi persatuan yang ilahi dengan Allah. Situasi ini teristimewa tercapai setiap Hosti tak Beragi dan Anggur dikonsekrasikan menjadi Tubuh dan Darah yang Mulia dari Kristus, Sang Imam Agung. Bukti cinta Allah yang agung ini secara langsung memberikan dampaknya pertama kali kepada para imam, yang menjadi orang pertama selama Misa Kudus yang memegang Tubuh Kristus, bahkan Bunda Maria yang hadir dalam setiap Misa Kudus pun tidak diberikan kesempatan oleh Kristus untuk memegang diri-Nya pertama kali setelah konsekrasi agung. Sungguh, jika imam menyadari anugerah agung yang diterimanya ini, maka akan menjadi suatu bencana baginya untuk melepaskan diri dari persatuan dengan Allah. Seorang imam, akan lebih memilih untuk tetap berada dalam kondisi bersatu dengan Kristus ini, memandang Dia, selama mungkin karena dalam masa-masa ini anugerah-anugerah surgawi dicurahkan kepadanya, yang pada hakikatnya merupakan seorang manusia fana.
Selama mungkin, persatuan ini harus diusahakan oleh seorang imam, karena hanya dalam persatuan ini, ia secara khusus melihat langsung Tuhannya, suatu kesempatan yang tidak akan diberikan selain kepada para imam. Satu-satunya hal yang menghalangi persatuan ini terjadi dalam waktu lama, ialah tugas imam untuk mewartakan Sabda yang telah menjadi Daging kepada para umat dalam bentuk pembagian Hosti Mulia dalam Komuni Suci. Namun hal ini bisa diatasi dengan intensitas yang tinggi dari seorang imam untuk melaksanakan bagi dirinya sendiri suatu Misa pribadi demi pemurnian jiwa imam itu sendiri sekaligus memberikannya kesempatan untuk mendalami jiwa Kristus secara pribadi dengan waktu yang jauh lebih lama.
Itulah alasannya mengapa Gereja Katolik menyadari bahwa dengan segala kekurangan yang dimilikinya, hanya satu hal yang mampu diberikannya kepada para imam yakni persatuan yang seutuhnya kepada Allah dalam kehidupan mereka melalui jalan hidup selibat. Gereja menyadari bahwa jika persatuan dengan Allah dicampuri dengan berbagai hal-hal persoalan duniawi, maka sama saja dengan Gereja tidak menjaga kesakralan Allah itu sendiri dengan mencampurkannya dengan dosa manusia fana. Gereja menawarkan selibat kepada setiap orang yang ingin menjalani hidup sebagai imam. Selibat adalah pilihan, namun ia sejalan dengan pilihan menjadi imam. Siapa saja yang menyatakan siap menjadi imam, maka ia harus siap untuk selibat. Bukan untuk menanggung suatu beban, tetapi siap untuk mendapatkan limpahan karunia yang telah disiapkan Allah baginya yang bahkan Gereja sendiri tidak memiliki kemampuan untuk memberikan anugerah tersebut.


****INTROIBO AD ALTARE DEI, AD DEUM QUI LAETIFICAT JUVENTUTEM MEAM****
****AKU HENDAK NAIK KE ALTAR ALLAH, YANG TELAH MENGGEMBIRAKAN MASA MUDAKU****

Leave a Reply

Kalender Liturgi

Artikan situs ini (Translator)

Buku tamu


ShoutMix chat widget

Lokasi Tamu

Mari Berlangganan

GET UPDATE VIA EMAIL
Dapatkan kiriman artikel terbaru langsung ke email anda!
Diciptakan berkat anugerah Allah kepada Tarsisius Angelotti Maria. Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

Cari Blog Ini