Servus Servorum Dei, yang berarti Abdi dari para Abdi Allah merupakan semboyan yang menjadi pegangan bagi para Bapa Suci untuk menandakan bahwa sebenarnya mereka adalah pelayan dari semua umat dan gembala Allah bahkan dengan semua otoritas yang diberikan kepadanya. Tanpa bermaksud untuk mencampuri privilese yang secara khusus hanya dimiliki oleh Paus, sudah seharusnya para putra-putri altar juga mengambil semboyan ini sebagai moto pelayanan mereka. Menjadi abdi yang sesungguhnya dari para gembala umat Allah sekaligus menjadi abdi dan pelayan serta pelindung dari Ekaristi itu sendiri. Dengan segala keistimewaan yang diberikan kepadanya oleh Gereja dengan menjadi kaum di luar hierarkis yang diberikan kesempatan untuk berada pada jarak yang terdekat dengan Sakramen Yang Maha Mulia, maka baik secara sadar maupun tidak, para putra-putri altar telah mendapatkan suatu karunia Ilahi yang hampir sama besarnya dengan para imam dan para kudus karena bersama-sama dengan mereka, para putra-putri altar menjadi pihak yang diperbolehkan berada satu tempat di lingkungan altar suci, tempat yang paling dekat dengan Allah dan paling merasakan hadirat Ilahi pertama kali sesudah konsekrasi agung terjadi.
Namun yang seringkali terjadi di lapangan, para putra-putri altar justru menjadi pihak-pihak yang mengotori kesucian lingkungan altar bahkan sampai konsekrasi dilakukan untuk mengubah substansi duniawi menjadi materi ilahi. Dengan berbagai tindakan, sikap, dan perkataan mereka selama menjalankan tugas pelayanan di altar, tidak jarang mereka bahkan menciptakan suasana tidak khidmat yang justru harus tidak boleh dilakukan oleh semua pihak yang diperkenankan untuk berada di altar suci bersama-sama dengan para imam. Tidak jarang mereka berbicara selama pelayanan, membicarakan hal-hal yang tidak perlu; melakukan tindakan-tindakan yang tidak pantas untuk dilakukan oleh orang-orang yang mengenakan jubah pelayanan liturgis. Bahkan tidak jarang pulang tindakan tersebut mereka lakukan bahkan pada saat konsekrasi terjadi. Bagi sebagian orang, memang hal ini merupakan hal biasa yang tidak memiliki arti dan dampak apapun bagi mereka, tetapi bagi kesucian Ekaristi yang Maha Agung hal ini justru merupakan suatu pelecehan yang amat serius yang bisa dikategorikan sebagai sakrilegi.
Jika kita mengambil contoh dua alternatif ritus pelaksanaan misa kudus yang sebenarnya merupakan satu misa yang sama, terdapat dua perbedaan mencolok terkait pihak yang diperbolehkan untuk mengambil peran bersama-sama dengan imam turut mengambil bagian dalam tugas pelayanan Ekaristi Suci. Ritus pertama yakni Misa Forma Ekstra Ordinaria hanya memperbolehkan kaum seminaris atau orang-orang yang secara khusus telah dilatih dan diberikan pendidikan mengenai Misa Kudus dan Ekaristi Mulia untuk mengambil bagian dalam tugas pelayanan mereka, dengan kriteria tambahan hanya pria yang boleh melakukan tugas ini. Bukan sebagai bentuk tindak hormat kepada para wanita, tetapi karena memang pada awalnya tugas ini hanya diperbolehkan kepada para imam dan paling sedikit mereka yang sedang mengecap pendidikan seminari. Namun karena Gereja melihat, bahwa di luar lingkup seminari masih terdapat orang-orang sekuler yang secara khusus ingin mempersembahkan diri secara total dalam pelayanan Ekaristi dan memahami keagungan serta kesucian Ekaristi maka mereka pun turut diperbolehkan untuk menikmati anugerah ini. Hal ini berdampak pada kesucian Ekaristi yang sangat mereka jaga sehingga sangat sedikit, kecuali karena alasan keragu-raguan batin yang mereka alami akan kesungguhan peristiwa trans-substantiasi yang terjadi, peristiwa yang memungkinkan kesucian Ekaristi ternodai. Namun pada alternatif pelaksanan misa Kudus dalam bentuk Missa Forma Ordinaria / Novus Ordo / Missa Vernakuler (misa yang kini kita rayakan secara lebih luas), pihak yang diperbolehkan untuk turut mengambil bagian dalam pelayanan di altar ialah mereka, baik pria maupun wanita, yang meluangkan diri untuk pelayanan tersebut. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan pun cenderung sebatas pada tindakan-tindakan yang harus mereka lakukan selama pelayanan mereka di altar tanpa dibarengi pemahaman yang memadai tentang apa yang sebenarnya mereka alami dan hadapi di altar selama masa pelayanan mereka tersebut. Maka tidak aneh jika dengan pendidikan dan pelatihan yang semacam ini, para misdinar sering melakukan kesalahan-kesalahan fatal yang menurut mereka wajar dilakukan. Memang hal ini berdasarkan pada ketidaktahuan awal mereka tentang Ekaristi, namun jika hal ini berulang kali dilakukan maka bukan merupakan suatu kesalahan yang pantas untuk diberikan kelonggaran untuk kemudian dapat dilakukan kembali. Selain itu tidak jarang pula para misdinar dalam ritus pelaksanaan misa Novus Ordo melakukan pelanggaran dalam hal busana liturgis yang mereka kenakan.
Dalam ritus Missa Forma Ekstra Ordinaria, busana liturgis yang dikenakan oleh para misdinar atau yang lebih umum disebut sebagai akolit/server, terdiri dari satu unit jubah panjang dari leher ke mata kaki berwarna hitam yang bernama cassock disertai dengan satu unit busana menyerupai baju berwarna putih dengan ukuran lengan yang agak besar disertai ornamen-ornamen yang membuatnya transparan pada bagian lengan yang disebut superpli, juga bersama dengan kerah berwarna putih yang dikenakan melingkar pada leher mereka. Sedangkan pada ritus Novus Ordo, para misdinar menggunakan superpli, potongan cassock dengan hanya bagian dari pinggang ke mata kaki, disertai dengan mozetta (yang seharusnya hanya boleh dikenakan oleh uskup), serta tidak jarang menggunakan salib pectoral (salib yang juga hanya boleh dikenakan oleh uskup, yang berada di dada). Memang busana liturgis belum tentu mencerminkan kesalahan total yang mereka lakukan selama pelayanan mereka di altar, tetapi ada baiknya para misdinar juga turut mengikuti kaidah busana liturgi yang ditetapkan oleh Gereja Katolik untuk pelayanan mereka di altar.
Categories:
Misa Kudus,
Renungan - Wawasan
Kalender Liturgi
Pengunjung
Artikan situs ini (Translator)
Buku tamu
Lokasi Tamu
Mari Berlangganan
Pages
Diciptakan berkat anugerah Allah kepada Tarsisius Angelotti Maria. Diberdayakan oleh Blogger.
Entri Populer
-
PENGANTAR Tugas perutusan dasar Gereja adalah menjadi pelayan Sabda, yakni mewar-takan dan mewujudkan Injil di tengah-tengah masyarakat...
-
Gereja Katolik mengajarkan bahwa pada saat konsekrasi dalam Misa Kudus, roti dan anggur di altar sungguh menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kri...
-
“Akulah hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut perkataanmu,” ucap Maria kepada malaikat Gabriel yang diutus oleh Tuhan kepadanya untuk m...
-
Signum Crucis [Tanda Salib] In Nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti, Amen Atas nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Ami...
-
Doa Rosario dalam bahasa Latin dilakukan dengan urutan doa sama seperti doa rosario dalam bahasa vernakuler (bahasa sehari-hari) kita. Beri...
-
Catholic Church History Pagan Imperialism (49 B.C.-313 A.D.) III. Growth of the Church (107-248) 15. Reaction to Simplification: Monarchiani...
-
Lahir di Flamske, sebuah dusun sekitar satu setengah mil dari Coesfeld, di Keuskupan Munster, Jerman pada 8 September 1774 dari sebuah kelua...
-
Jumat Agung merupakan saat ketika Gereja Kudus memperingati saat wafatnya Kristus. Setelah sebelumnya, Gereja bersama-sama Kristus berjaga-j...
-
Sejak Doa Rosario ditata, secara prinsip dan substansial, sebagai doa kepada Kristus dan Penghormatan Surgawi, yaitu, Bapa Kita dan Bunda M...
-
Ada hal yang cukup besar yang membedakan antara seorang wirausaha dengan seorang karyawan...