Dominus Vobiscum


            Kegiatan industri pertambangan terbuka meliputi tiga kegiatan besar yakni pengupasan tanah yang bertujuan untuk mendapatkan lapisan bahan endapan yang ingin ditambang dan bernilai ekonomis, kemudian tahap pengangkutan yang bertujuan untuk memindahkan bahan endapan yang telah ditambang ke tempat pemrosesan bahan endapan, serta tahap terakhir berupa pemrosesan bahan endapan yakni pemisahan bahan endapan dari material pengotor baik berupa batuan maupun material tanah untuk mendapatkan material yang murni yang bernilai ekonomis dan layak untuk dijual untuk mendapatkan keuntungan sebagai balas dari segala pengeluaran yang dikeluarkan untuk memperoleh bahan galian tersebut.
Oleh karena itu, kegiatan pertambangan terbuka tidak mungkin dipisahkan dari kegiatan pengupasan (stripping) yang dimulai dari kegiatan pengupasan tanah lapisan atas, kemudian dilanjutkan dengan pengupasan material penutup yang berada di atas bahan endapan (overburden). Kegiatan industri pertambangan terbuka, karenanya merupakan suatu kegiatan industri yang merubah bentang alam, yang secara langsung merujuk pada perubahan bentuk kontur maupun topografi tanah. Tanah tempat beroperasinya kegiatan tambang dapat berupa tanah yang tidak memiliki hak milik maupun tanah yang telah dimiliki oleh pihak-pihak tertentu seperti pemerintah, lembaga, perorangan, maupun kelompok adat. Yang sering menimbulkan kontroversi ialah penggunaan tanah oleh pihak industri pertambangan yang berasal dari tanah milik adat atau yang lebih sering dikenal dengan tanah ulayat.
            Tanah ulayat dapat diartikan sebagai suatu wilayah tanah yang sejak turun temurun menjadi bagian dan harta kekayaan dari suatu kelompok adat dan kepemilikannya diatur dalam peraturan adat yang biasanya merupakan peraturan yang tidak tertulis. Tidak tertulisnya kepemilikan tanah inilah yang menjadi sumber permasalahan antara pihak pengelola tambang dengan pihak masyarakat adat. Pihak pengelola tambang biasanya beralasan mereka mampu memperoleh hak milik untuk penggunaan lahan tersebut dikarenakan secara tertulis masyarakat adat tidak memiliki bukti atas kepemilikan lahan tersebut. Sementara masyarakat adat tetap bersikukuh bahwa meskipun mereka tidak memiliki bukti tertulis atas kepemilikan lahan tersebut, tetap saja lahan tersebut merupakan milik mereka dikarenakan lahan tersebut memang telah diwariskan secara turun temurun kepada mereka dan telah menjadi daging dari mereka sendiri. Walaupun dalam beberapa kasus, terdapat kelompok masyarakat adat yang telah melengkapi surat kepemilikan lahan, namun sebagian besar surat yang berada di tangan kelompok masyarakat adat merupakan surat kepemilikan yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sehingga tidak memiliki keabsahan lagi setelah pemerintah RI resmi berdiri dan mendapatkan pengakuan kemerdekaan baik secara de facto maupun de jure dari pihak dunia internasional.
            Pemecahan yang menurut saya paling solutif dari permasalahan ini ialah pertama-tama diadakannya suatu pertemuan untuk membahas permasalahan ini secara kekeluargaan. Baik dari pihak pengelola tambang, dijelaskan mengenai dampak baik dan buruk keberadaan tambang di daerah tersebut sedangkan dari pihak kelompok masyarakat adat meneguhkan aspek kebudayaan yang terkandung dalam kepemilikan lahan tersebut. Jika tetap ditemui jalan buntu dari musyawarah ini, maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh ialah pengelola tambang kiranya menghentikan kegiatan tambang karena akan sangat rawan untuk melakukan kegiatan penambangan dikarenakan tidak adanya persetujuan dari masyarakat setempat yang akan berdampak pada tidak tersedianya kepastian keamanan yang kontinu di daerah tersebut. Hal ini berdampak pada rendahnya minat para pekerja untuk melakukan rutinitas profesi mereka sebagaimana biasanya.
Memang keputusan ini akan sangat merugikan karena sama saja dengan membuang sia-sia dana kegiatan eksplorasi yang menelan dana miliaran rupiah. Namun perihal kerugian ini bisa diantisipasi sejak awal, jika saja pihak pengelola menghindari melakukan kegiatan pertambangan di daerah yang memiliki tanah ulayat atau lebih baik jika melakukan kegiatan tambang bawah tanah, yang tentunya akan memiliki risiko dan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengoperasian tambang terbuka.

Categories:

Leave a Reply

Kalender Liturgi

Artikan situs ini (Translator)

Buku tamu


ShoutMix chat widget

Lokasi Tamu

Mari Berlangganan

GET UPDATE VIA EMAIL
Dapatkan kiriman artikel terbaru langsung ke email anda!
Diciptakan berkat anugerah Allah kepada Tarsisius Angelotti Maria. Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

Cari Blog Ini